Jelang
Natal, 23 Desember 1988, Vincent van Gogh memotong telinga kirinya lalu
membungkusnya dengan kertas. Di hari minggu nan dingin itu, ia kemudian
berjalan menyusuri Desa Arles, Prancis, mengirimkan potongan telinganya pada
seorang perempuan yang kemudian diketahui bernama Gabrielle Berlatier.
Melihat
bungkusan itu, Berlatier seketika pingsan karena terkejut. Sementara Van Gogh,
tak lama kemudian terjatuh lemas karena kehilangan banyak darah yang membuatnya
harus dirawat hampir dua minggu lamanya.
Mengapa
pelukis ternama dan salah satu paling berpengaruh di Eropa itu memotong
telinganya sendiri?
Karena
denting lonceng pernikahan adiknya, Theo. Kira-kira begitulah menurut Martin
Bailey dalam bukunya berjudul Studio at the South: Van Gogh in Provence.
Di hari
itu, telegram datang dari kakaknya, Henry, yang mengucapkan selamat karena Theo
akan menikah. Theo bukan sekadar seorang adik bagi Van Gogh, melainkan orang
kepercayaan sekaligus penyokongnya secara finansial.
“Rasa
takut menjadi pemicu dan mendorongnya berbuat seperti itu. Rasa takut akan
diabaikan baik secara emosi atau keuangan,” ujar Bailey, dilansir CNN.
Beberapa
teori sebelumnya berasumsi bahwa tindakan ‘gila’ Van Gogh terjadi setelah ia
bertengkar hebat dengan teman pelukisnya, Paul Gauguin, atau karena sekadar mencari
perhatian ibundanya.
Baca juga:
Bailey
percaya bahwa berita pernikahan hanyalah pelatuk yang mengguncang Van Gogh.
Terlebih mengingat pandangan para dokter ahli yang menilai Van Gogh memiliki
gangguan mental--entah itu bipolar disorderatau alkoholisme.
Hasil
pemeriksaan kesehatan Van Gogh menunjukkan bahwa sang pelukis impresionis itu
menjadi “mangsa halusinasi aural (terkait pendengaran)”. Memotong telinga,
boleh jadi, usaha--sia-sia--untuk membungkam ratusan suara yang
menghantuinya.
Van
Gogh adalah satu dari sederet seniman ternama--pelukis, penyanyi, penulis,
aktor--yang menderita gangguan mental atau depresi. Selain dia, ada nama-nama
lain seperti Pablo Picasso, Edgar Allan Poe, Virginia Woolf, Ernest Hemingway,
Amy Winehouse, Kurt Cobain, Sylvia Plath, hingga Robin William, yang juga
didera depresi.
Saking
banyaknya tokoh-tokoh ternama yang mengalami depresi, gangguan mental, atau
psikopatologi lainnya, para peneliti pun mencari tahu adakah kaitan antara
gangguan mental dan kecerdasan?
Kecerdasan dan Gangguan Mental Memiliki Gen Serupa?
Depresi
dan psikopatologi lainnya, barangkali, adalah harga yang harus dibayar atas
kecerdasan yang dimiliki. Asumsi itu mendorong lahirnya banyak penelitian yang
seakan mencoba mengamini pernyataan tersebut.
Daniel
Smith dari University of Glasgow, Skotlandia, meneliti 1.881 anak usia 8 tahun,
yang ia teliti kembali di usia 22-23 tahun. Penelitian yang dirilis pada 2015
itu menyatakan, 10 persen dari mereka dengan kontras emosi berlebih memiliki IQ
lebih tinggi hampir 10 poin. Korelasi ini kian menguat bagi mereka yang
memiliki kecerdasan verbal.
“Penelitian
yang kami lakukan menawarkan penjelasan bagaimana bipolar disorder terjadi di
tiap generasi,” ujar Daniel Smith kepada The Guardian (19/8/2015).
“Ada
gen tertentu yang sepertinya mendasari terjadinya gangguan mental. Salah satu
kemungkinannya, gangguan emosi--seperti bipolar disorder--adalah harga yang
harus dibayar manusia akan kecerdasan, kreativitas, dan kemampuan verbal yang
dimilikinya.”
Hasil
penelitian itu senada dengan riset yang dilakukan oleh deCode--pusat studi gen
di Reykjavik, Islandia--yang juga menelaah kaitan antara gangguan mental dan
kecerdasan.
“Untuk menjadi kreatif, kamu harus berpikir dengan cara berbeda,” ujar Kari Stefansson, pendiri deCode, dikutip dari The Telegraph. “Dan perbedaan itu membuat kita cenderung dianggap aneh, gila, bahkan hilang akal,” lanjutnya.
Penelitian
yang diterbitkan di jurnal Nature Neuroscience itu menggunakan
rekam medis 86.000 orang Islandia untuk menemukan varian gen yang meningkatkan
risiko terjadinya gangguan mental. Mereka menemukan bahwa gen tersebut lebih
umum (sebesar 17 persen) dimiliki oleh anggota dewan kesenian nasional.
Tak
hanya penelitian ini saja yang mencoba mencari korelasi antara psikopatologi
dan intelegensi. Setidaknya sejak 1987 banyak penelitian dikembangkan. Mulai
dari riset Nancy Andreasen yang membandingkan 30 penulis dan non-penulis, studi
Kay Redfield Jamison yang mewawancarai 47 penulis dan seniman, hingga Arnold
Ludwig yang meneliti ribuan biografi tokoh ternama.
Semuanya
seolah mencari pembenaran bahwa para seniman dan tokoh-tokoh terkemuka itu
dihantui oleh depresi dan berbagai penyakit kejiwaan. Namun tak satu pun dari
berbagai penelitian tersebut yang benar-benar memberi bukti valid adanya
korelasi antara “kegilaan” dan kecerdasan.
Keraguan
muncul entah karena metode penelitian yang dilakukan atau terbatas secara
prosedur--pada jumlah responden, teknik wawancara, studi literatur--hingga
pengertian dan standar dari kecerdasan atau kreativitas yang sekadar didasarkan
pada profesi semata.
Albert
Rothenberg, profesor psikiatri Universitas Harvard, dengan skeptis menyatakan,
“Hal itu hanyalah romantisme abad 19 yang menilai bahwa seniman adalah pejuang,
menyimpang dari masyarakat, dan sibuk bergumul dengan setan dalam dirinya.”
Keraguan
serupa juga disampaikan Arne Dietrich, profesor psikiatri Universitas Georgia.
Bagi Dietrich, “Berbagai statistik itu adalah ‘dosa’ karena mengabaikan
informasi dasar dan umum untuk berfokus pada informasi yang spesifik, yang ada
di depan mata.”
Psikopatologi--apapun
bentuknya--dialami oleh hampir 10 persen dari populasi dunia. Namun, besarnya
jumlah tersebut sama sekali tak berkorelasi positif dengan jumlah orang-orang
genius dan kreatif.
“Nyatanya,
mayoritas orang kreatif tak menderita gangguan psikologi. Dan mereka yang
mengalami gangguan psikologi pun tak bisa disebut cerdas atau kreatif,” tulis
Dietrich.
Psikopatologi
sebatas dipahami sebagai gangguan mental yang dilihat per individu semata:
kurangnya serotonin atau masalah pada otak mereka. Bukan sebagai persoalan
sosial dan interaksi di masyarakat yang melahirkan keterasingan, rasa rendah
diri, dan beragam ketakutan lainnya.
Selain
itu Dietrich juga mengkritisi term kreatif dan cerdas yang hanya didasarkan
pada profesi semata: seniman, penulis, musisi, aktor, atau ilmuwan. Lalu,
bagaimana dengan akuntan, marketing, petani, dan sebagainya? Tak mungkinkah
mereka juga kreatif dan cerdas dengan caranya sendiri?
Asumsi
ini bisa menjadi tekanan baru bagi mereka yang mengalami psikopatologi, namun
tak memiliki bakat apapun di bidang “kreatif”.
Kritik
lainnya mempertanyakan definisi dari gangguan mental yang dialami. Barangkali,
gangguan mental yang dibayangkan adalah apa yang ditampilkan seperti dalam
film, teater, lagu, atau puisi: asap rokok yang memenuhi kamar berlampu
temaram, geretak jemari di atas meja, dengan pikiran yang berlari ke mana-mana.
Sementara
itu, mereka yang depresi, misal, nyatanya hanya tidur hingga
20 jam dalam sehari, tanpa mandi, mengurung diri, enggan untuk keluar karena
berpikiran “aku tak berharga dan tidak seharusnya ada di tengah masyarakat”.
Gejala yang justru membuat seseorang tak bisa melakukan apapun yang dia mau,
mematikan motivasinya untuk berlaku karya.
Baca juga:
Di sisi
lain, asumsi tersebut bisa dibilang cukup berisiko. Kreativitas yang dimiliki
seseorang dianggap karena “kegilaan” alih-alih bakat yang dimiliki. Atau,
mereka yang bergerak di bidang seni kemudian dianggap “gila” dan membuatnya
terputus dari masyarakat yang justru menikmati karyanya. Atau, memotivasi para
seniman dan penulis untuk memilih hidup menderita demi melahirkan
kreativitas.
Boleh
jadi, gagasan itu tetap ada karena dirasa memberi kenyamanan: bahwa gangguan
kejiwaan yang dialami mungkin memiliki dampak positif. Namun, menutup mata dari
realita yang sebenarnya.
===============
Source: Here